Pesan Singkat

Senin, 31 Oktober 2011

Casting Menjadi Host yang Menjadi Sarana Pelatihan

Menggarap sisi entertainment dari seni Teater tetap dilakukan oleh Teater Anak Negeri walaupun konsep dasarnya adalah sarana pelatihan teater untuk mengembangkan kemampuan individu dan kolektif.

Kemampuan individu di Teater Anak Negeri adalah kecakapan merefleksikan diri, pengendalian emosi, kemampuan memotivasi diri sendiri, pengembangan imajinasi, pengembangan kreatifitas serta peningkatan kecerdasan kognitif dan psikomotorik dan lainnya.

Kemampuan kolektif di Teater Anak Negeri adalah kecakapan berkomunikasi, berinteraksi, berorganisasi (berbagi), kesadaran tentang ruang dan lainnya.

Sisi sebagai penyaji kesenian (entertainer) dari teater tidak menjadi hal utama sehingga jika kemudian anggota Teater Anak Negeri mampu tampil sebagai entertainer, maka hal itu menjadi bonus dari hasil pelatihan dan kerja keras anggota Teater Anak Negeri.

Salah satu pelatihan kemampuan individu, kemampuan kolektif yang sekaligus mendekatkan pada bonus menjadi entertainer yang digarap Teater  Anak Negeri bersambut dengan undangan IMTV, sebuah stasiun televisi lokal di Bandung dalam kegiatan perekrutan host kanak-kanak pada Jum'at 28 Oktober 2011 yang baru lalu.

Pengalaman baru bagi anak-anak untuk mengenal dunia siaran televisi yang disampaikan dengan tujuan meningkatkan kapasitas, membuat anak-anak mampu menahan keinginan instan menjadi populer dengan memilih (dan menentukan sendiri) tidak menjadi peserta casting bagi sebagian besar anggota Teater Anak Negeri sehingga kegiatan ini kemudian lebih menjadi upaya memotivasi mengembangkan kecakapan untuk dapat tampil maksimal agar lebih siap dalam dalam setiap peluang yang terbuka di masa yang akan datang.

Bagi Anggota Teater Anak Negeri, kegiatan ini juga menjadi penyadaran bagaimana seorang Boni Avibus, salah satu anggota dalam lingkaran Teater Anak Negeri menunjukan kecakapan terbaiknya sebagai Aktor Teater untuk menguasai dialog, kamera dan ruang dengan melampaui kapabilitas anak-anak lainnya yang datang dari berbagai agensi pelatihan presenter yang mempunyai jaringan nasional dan menyediakan pelatihan-pelatihan instan (yang mungkin juga) dilengkapi berbagai media dan alat-alat pendukung pelatihan layaknya studio televisi.

Bagi Teater Anak Negeri, menjadi Entertainer adalah Bonus dari kecakapan individu dan kolektif yang sebenarnya. Salam Budaya.


Kamis, 13 Oktober 2011

Program Pelatihan Teater Anak Negeri

I. Pelatihan Dasar Teater
   Teater Anak Negeri mempunyai 3 program pelatihan teater sebagai berikut:

  1. Latihan Reguler Ekstrakurikuler adalah pelatihan yang dilakukan bekerjasama dengan sekolah formal dengan muatan materi peningkatan kapasitas individu (30 Sesi) dan kapasitas kolektif (30 Sesi). Perform/pementasan lebih dikuatkan dalam pementasan kelompok, jika kemudian mampu tampil secara individu, maka itu adalah bonus dari kerja kerasnya.
  2. Latihan Reguler XCTAN adalah pelatihan yang dilakukan dalam komunitas kecil sekurang-kurangnya 4 peserta + 1 L.O dengan muatan materi kapasitas individu (30 Sesi) dan kapasitas kolektif (30 Sesi), Perform/pementasan lebih dikuatkan dalam pementasan kelompok, jika kemudian mampu tampil secara individu, maka itu adalah bonus dari kerja kerasnya.
  3. Latihan intensif XCTAN adalah pelatihan intensif dengan muatan materi kapasitas individu (30 Sesi) dan kapasitas kolektif (10 Sesi) plus promosi khusus pada pementasan/casting individu. 

II. Pelatihan Teater Lanjutan I
Pelatihan Teater Lanjutan diberikan pada Anggota Original yang telah menyelesaikan pelatihan dasar teater 60 sesi, berupa pembekalan kapabilitas mentransfer pengetahuannya serta sebagai persiapan untuk dapat menjadi inti sel baru dari pelatihan Teater Anak Negeri. Selain pembekalan pelatihan mengajar teater, Anggota juga akan mempelajari peran-peran dibelakang panggung dalam suatu pertunjukan secara keseluruhan. Latihan lanjutan ini minimal diikuti dalam 90 sesi.


III. Pelatihan Teater Lanjutan II 
Anggota berlatih untuk mengembangkan kemampuan istimewanya yang tidak terbatas hanya pada kesenian saja dan mengkolaborasikannya menjadi suatu bentuk pertunjukan yang dapat diapresiasi publik secara umum (jumlah sesi yang diikuti dapat bervariasi sesuai kematangan personal).


IV. Pelatihan Teater Lanjutan III 
Pelatihan tahap 3 akan lebih menekankan pada sastra dan membuat karya tulis untuk melengkapi kemampuan verbal yang telah diolah pada pelatihan sebelumnya (jumlah sesi yang diikuti dapat bervariasi sesuai kematangan personal).


V. Final
Ini adalah tahap dimana anggota dapat berlatih mengambil peran-peran organisasi komunitas, terlibat dalam desain pelatihan dan pementasan, berbagi pengetahuan serta aplikasi dari berbagai hal yang telah mereka pelajari dan menjadi pembimbing Anggota Original Muda atau menjadi inti sel baru dari Teater Anak Negeri dan mematangkan diri (jumlah sesi yang diikuti dapat bervariasi sesuai kematangan personal).

Sabtu, 01 Oktober 2011

Catatan Boni Avibus dari Mimbar Teater Indonesia #2


Ini adalah kedua kalinya aku berkumpul dengan Seniman-Seniman teater se-Indonesia setelah HUT FTI 2008 di Taman Ismail Marzuki Jakarta dengan orang-orang yang berbeda. Tidak hanya menyaksikan karya-karya om Putu Wijaya yang ditampilkan oleh seniman-seniman besar teater se-Indonesia yang membuat aku mendapat pelajaran baru, tetapi penampilanku di Teater Arena, Taman Budaya Surakarta (10/10/2010) melalui naskah karya om Putu Wijaya yang berjudul Tok Tok Tok juga dapat disaksikan oleh mereka dan yang pasti om Putu Wijaya yang juga hadir, tampak puas menyaksikan karyanya dapat aku sajikan dengan sebaik mungkin. 

Naskah yang aku bawakan ini ditulis om Putu pada tgl. 11 April 2010 dan aku mendapat kehormatan sebagai orang pertama yang menyajikannya. Isi naskahnya sangat aku sukai karena mengajarkan tentang kehidupan. Kita tidak boleh takut untuk menjalani hidup, kita harus mengenali, mempelajari dan merenungi masa depan sebelum terlambat. Ancaman keganasan, perang, teror, bencana alam dan lain-lainnya jangan membuat kita takut menghadapi hidup karena dunia pasti masih akan menyisakan keramahan dan keindahan. 

Sebelum di Teater Arena, naskah ini aku sajikan di SD Cemara 2 Solo (09/10/2010) dan ditonton oleh anak-anak seusiaku, mereka sangat ramai ketika aku turun dari panggung dan menjadikan mereka terlibat dalam pementasan, bahkan sesekali mereka menyahuti kalimat-kalimat yang aku ucapkan. Aku berharap setelah pementasanku di sekolah mereka ini, mereka dapat terinspirasi dan menyukai teater agar dapat mengembangkan kesenian dan kebudayaan kita menjadi lebih kreatif dan dan mendapat nilai-nilai kebaikan dari isi naskahnya. -Boni Avibus

Jumat, 20 Mei 2011

Body Weather

berlatih konsentrasi

berlatih kepekaan

Sharoon, mengarahkan

bergantian,  mempelajari kelenturan
Kesempatan untuk terlibat di Workshop Body Weather, membuat Boni Avibus sebagai satu-satunya wakil Teater Anak Negeri, juga menjadi peserta termuda.

Suasana yang terbangun dari kegiatan ini sebenarnya sangat sesuai dengan anak-anak karena penuh dengan permainan-permainan untuk membentuk kemampuan merespon secara refleks berbagai aktifitas gerak dan suara.

Setiap peserta workshop dituntut untuk menajamkan konsentrasinya agar dapat merespon aktifitas peserta lainnya. Selain konsentrasi, para peserta juga berlatih mengembangkan imajinasinya untuk mendapatkan gerak-gerak teatrikal yang indah, yang terbangun dari kekompakan dan ketajaman respon. Workshop menarik ini diajarkan oleh Sharoon Joosen, mahasiswi Hogeschool voor de Kunsten Utrecht (Utrecht School of Arts, Belanda) dengan berbahasa Inggris dibantu Ka Tia dari Main Teater sebagai penterjemaahnya.

Kamis, 05 Mei 2011

Komplain dari Seberang Laut tentang Kabaret

Komplain di inbox Daya Cipta Budaya yang datang dari Seattle-USA, dan German tentang ‘alasan Teater Anak Negeri menghindari Kabaret’ cukup mengejutkan. Namun, dapat kami jelaskan bahwa kabaret yang diadaptasi di Indonesia mengalami pergeseran dari negeri asalnya hingga sampai ke Indonesia. Di Indonesia, kabaret ditampilkan dengan bantuan perangkat audio yang mencuplik berbagai lagu atau jinggle iklan (inilah yang kami maksud dengan vandalisme) untuk mengisi suara penari atau pemain sandiwara dalam memparodikan atau menyampaikan satire terhadap suatu ‘kondisi sosial?’. Namun hal prinsip yang tetap mengganggu bagi kami untuk menerima kabaret, adalah [selalu] adanya transgender (waria) didalam pertunjukan kabaret Indonesia yang ikut terserap dari negeri asalnya (Paris). Seandainya yang terserap adalah kehadiran penyanyi dan pemusik asli yang menjadi pelantun vokal bagi para penari atau pemain sandiwara, tentu saja ceritanya akan lain.

Faktor transgender inilah yang memperkuat kesimpulan psikologis kami tentang ‘ketidak-mampuan mengenali dan menjadi diri sendiri’. Meskipun beberapa kesenian tradisional Indonesia juga menerima kehadiran waria didalam pertunjukkannya (sekalipun itu dengan alasan tuntutan peran) namun kami tetap tidak menjadi permisif pada kecenderungan tersebut dan berpegang bahwa waria adalah suatu gangguan psikologis yang tidak sepantasnya menjadi figur pertunjukan/penghibur karena jenis kelamin pria dan wanita tidak dapat diasosiasikan dengan warna hitam dan putih yang memiliki wilayah abu-abu.

Secara umum, dunia pendidikan dasar, menengah dan lanjutan di Indonesia bahkan menganggap kabaret sebagai seni teater, bukan sebagai bagian dari seni teater. Menurut beberapa sumber, perbedaan kabaret dengan teater adalah tempat pertunjukannya. Kabaret adalah suatu nama tempat di restoran/cafe, klab malam (perancis) atau tempat bordil (mediterania) yang kemudian menjadi nama dari pertunjukan ini. tergantung tempatnya, kabaret bersifat kasar liar dan vulgar.

Beberapa pengadopsi kabaret di Indonesia memberikan alasan mengapa akhirnya memilih kabaret adalah karena para pemain sandiwara mereka lemah dalam menghapal naskah, kesulitan mengekspresikannya dalam bentuk ucapan, dan berbagai pelarian lainnya termasuk faktor komersial yang kerap sulit diraih oleh sebagian besar pelaku seni teater di Indonesia.

Di Belanda dan Jerman, sebagian naskah kabaret memang ditulis oleh tokoh-tokoh sastra, dan menjadi alat untuk menyampaikan kritik secara intelektual terhadap kekejaman rezim pemerintahan dan politik. Jika menelusuri sejarah Indonesia, mestinya kabaret Indonesia dikenalkan oleh Belanda (kleinkunst) sehingga di Indonesiapun kabaret lebih banyak ditampilkan di gedung kesenian sebagaimana di Belanda.

Tentu saja Teater Anak Negeri tidak akan menolak apabila diundang untuk mementaskan kabaret di seberang lautan Indonesia, namun yang akan kami tampilkan adalah bentuk kabaret yang akan kami adaptasi dari Jerman atau Belanda lengkap dengan penyanyi, pengiring musik dan gubahan lagu sendiri dengan standar nilai-nilai yang kami tentukan sesuai tujuan Daya Cipta Budaya, bukan gaya kabaret yang cenderung dipentaskan di Indonesia. Semoga ini bisa menjadi jawaban atas komplain tersebut.

Rabu, 04 Mei 2011

Seni Teater, Seni yang Melingkupi Seni Lainnya.

Kursus musik, kursus vokal, kursus tari, kursus akting, kursus menggambar bahkan kursus modeling banyak didirikan para penggiatnya. Kursus-kursus ini mendapat respon positif dari para orang tua karena kursus-kursus ini nampak nyata membekali seorang anak dengan suatu kecakapan.

Meskipun perguruan tinggi seni mempunyai jurusan teater, namun tak seorangpun lulusannya yang berniat mendirikan kursus teater. Hal ini terjadi karena luasnya seni yang tercakup dalam pengajaran seni teater, sehingga sangat tidak mungkin menyelenggarakan kursus teater.

Para penggiat teater cenderung mendirikan sanggar teater yang menjadi wadah dari berbagai seni, dimana sanggar ini berfungsi menjadi tempat persilangan dan bersinerginya kecakapan individu dalam sebuah komunitas seni. Sanggar teater sebenarnya adalah tingkat perluasan (extension) dari kacakapan-kecakapan dasar (basic) dan lanjutan (intermediate), baik itu seni musik, seni tari dan berbagai ranah seni lainnya termasuk juga ranah-ranah sosial, ekonomi, tehnik dan lain-lain. Kecakapan-kecakapan dasar dan menengah ini diselaraskan dalam bentuk berkesenian.

Sanggar teater merupakan sarana pembelajaran seni dan aktifitas berkesenian yang sangat luas cakupannya, yang membutuhkan pemahaman terhadap seni sastra, seni peran, seni tari, seni deklamasi, seni suara, seni berorasi, seni musik, seni rupa, seni menata cahaya, seni berbusana, seni berorganisasi dan lain sebagainya, sehingga tidak bersifat temporer dan praktis.

Kemampuan bermusik, bernyanyi,menari dan lainnya diperkaya dan diperluas untuk dapat bersinergi satu sama lainnya sehingga menjadi sebuah pertunjukan yang lengkap. Seorang pemusik misalnya, harus mampu bersenyawa dengan suasana yang dibangun oleh aktor, atau bahkan menjadi aktor yang mampu mengekspresikan dialog dan mengekspresikan musik sebagai bagian dari script. Seorang pemusik yang memahami sastra akan dapat mengaransement dan menciptakan syair-syair indah. Seorang pemusik yang memahami naskah teater akan lebih memiliki empati atas kondisi sosial sehingga mampu menciptakan lagu-lagu abadi. Seorang pemusik yang mengerti marketing akan mampu mempromosikan dirinya untuk dapat diterima publik dan banyak lagi ekstensi lainnya.

Ditingkat perluasan wawasan, seseorang yang berinteraksi dengan berbagai kecakapan dapat semakin semakin kreatif karena saling terinspirasi.
Sebuah tarian daerah, dapat menjadi sangat imajinatif dan inspiratif ketika dipadu padankan dengan script teater yang sesuai, karena makna yang terkandung didalam tarian menjadi diperkuat dengan adanya sinergi kontent yang multi interprestasi.

Keleluasaan sanggar teater, memang seringkali menjadi bumerang karena proses pembentukan kecakapan tidak kentara secara langsung oleh orang yang tidak terlibat. Namun, bagi yang terlibat dalam proses tersebut, kekuatan untuk kembali dalam lingkaran seni teater seringkali sangat kuat ketika mereka meninggalkan teater untuk pencapaian-pencapaian lain dan mengalami stagnasi kreatifitas akibat rutinitas yang monoton.

Drama Musikal bukan Kabaret !

Sebuah SMS menarik dilayangkan pada Teater Anak Negeri untuk melatih drama musikal di sebuah Sekolah Dasar. Namun ketika pembicaraan berlanjut, kami cukup terkejut dengan apa yang dimaksud sebagai drama musikal oleh pengirim SMS. Beliau menjelaskan proses yang telah berlangsung dalam latihan tersebut, yang kemudian kami sadari bahwa yang dimaksud adalah kabaret.

Sebenarnya ada perbedaan yang sangat jelas antara drama musikal dan kabaret. Pada drama musikal, Aktor atau pemain drama akan berdialog dengan menggunakan suara sendiri yang dinyanyikan, sedangkan pada kabaret, pemain hanya membuka mulut tanpa suara mengikuti dialog atau jingle lagu yang telah disiapkan dalam bentuk rekaman.

Meskipun kabaret adalah bagian dari seni teater, namun Teater Anak Negeri sangat menghindari pementasan-pementasan dengan bentuk kabaret. Berbagai alasan yang mendasari, diantaranya adalah:
  1. Tujuan pelatihan di Teater Anak Negeri adalah membangun kepribadian dan rasa percaya diri, yang diekspresikan dalam kata-kata sebagai alat komunikasi verbal. Kecakapan verbal adalah alat komunikasi utama manusia untuk menyampaikan pendapat, pemikiran dan gagasan secara langsung. Ditingkat yang lebih rendah, komunikasi dapat dilakukan secara tertulis, dengan isyarat (gerak/mimik), penggunaan simbol-simbol dan lain-lain. Komunikasi verbal menjadi efektif karena komunikasi ini dapat sekaligus menyampaikan emosi, ekspresi dan interaksi langsung.
  2. Mementaskan kabaret --selain tidak selaras dengan tujuan di atas karena kabaret hanya membuka mulut tanpa bersuara--, cenderung menjadi ladang ekspoitasi anak-anak (pemain) dalam suatu pertunjukan dimana pembekalan latihan, yang praktis hampir dapat dilakukan setiap orang untuk meniru dan memparodikan sesuatu sesuai konsep sutradara, tidak membutuhkan proses mendalam untuk menggali kepekaan rasa, pengenalan diri maupun pengenalan lingkungan yang berkaitan langsung dengan kontrol emosi dan kecerdasan sebagai dasar membangun kepribadian dan rasa percaya diri.
  3. Naskah kabaret cenderung diarahkan untuk menyajikan hiburan yang memancing tawa semata, dengan cara mengkompilasi potongan lagu-lagu yang sedang populer. Meskipun menghibur, namun pemain dan penonton sebenarnya tidak mendapatkan pengalaman apapun setelah pertunjukan selesai karena essensi dan muatan suatu karya sastra kerapkali menjadi hilang untuk mengadopsi potongan lagu-lagu tersebut.
  4. Kabaret atau lipsing adalah upaya yang secara kejiwaan seringkali merupakan pelarian dari ketidakmampuan mengenali dan menjadi diri sendiri. Apabila ini dikenalkan sejak usia dini, maka pengalaman ini akan mempengaruhi pilihan seseorang untuk selalu tetap berdiri di bawah bayang-bayang karya atau nama besar orang lain.
  5. Vandalisme suatu karya.

Sekali lagi, Pola pelatihan teater Anak Negeri lebih menitik beratkan pada kreatifitas untuk menghasilkan bentuk-bentuk baru dari karya seni dan budaya yang seringkali terhenti akibat tidak sesuai lagi dengan jaman, tingkat kejenuhan penikmat seni dan perubahan budaya global dengan berkembangnya perangkat elektronik. Kreatifitas ini kemudian kami kemas dalam seni teater yang merupakan aktifitas berkesenian dengan cakupan sangat luas, yang membutuhkan pemahaman terhadap berbagai bentuk seni lainnya.

Saat ini ada pergerakan baru dari sebuah cabang seni teater yang disebut teater tubuh. Dari perspektif pelatihan, teater tubuh cukup menarik untuk dijadikan referensi namun dari segi pementasan, teater ini juga kehilangan kemampuan verbalnya sehingga teater Anak Negeri kemudian mengkategorikannya dalam seni tari kontemporer.

Penajaman kemampuan untuk menyampaikan pendapat dihadapan publik, mempresentasikan sesuatu tanpa membuat audiens mengantuk, kemampuan berbahasa dengan indah namun tegas, kelenturan dan keluwesan gerak tubuh dan banyak lagi nilai-nilai positif dari seni teater, yang tidak terdapat dalam bidang-bidang seni lainnya, dapat terbangkitkan dari dalam diri setiap orang apabila mereka mendalami seni teater secara lengkap.

Berbeda dengan seni peran saja atau pelatihan kepribadian yang mengajarkan agar seseorang berperan seperti orang lain, bukan menjadi dirinya sendiri. Seni teater justru mengarahkan individu menjadi dirinya sendiri yang mampu bersinergi dengan orang lain dan lingkungannya karena selain belajar tentang seni peran, mereka juga harus belajar mengenali diri sendiri agar dapat menempatkan diri dalam menghayati suatu peran dan segera kembali menjadi diri mereka sendiri setelah pertunjukan usai.

Didalam seni teater, anak-anak yang terbangun rasa percaya dirinya dan ketajaman kepekaan sosialnya sejak dini, akan berguna bagi diri mereka sendiri maupun masyarakat. Meski mereka pada akhirnya memutuskan untuk tidak mendalami kegiatan berkesenian, dan memilih profesi lain, mereka telah terbekali dasar kreatifitas, kemampuan mengungkapkan gagasan dan pengenalan diri. Mereka juga akan bangga dapat bercerita tentang seni dan budaya yang menjadi identitas suatu bangsa ketika berada di negara lain.

Sabtu, 05 Februari 2011

Sesi Latihan Bernyanyi

Membawakan lagu yang diciptakan Mukti-mukti dengan diiringi langsung oleh penciptanya membuat sesi ini menjadi sangat menarik. Sayangnya pada sesi ini, anggota Teater Anak Negeri banyak yang tidak dapat hadir. Dengan gitar yang unik, Mukti-mukti mengiringi dan mengenali jenis vokal untuk disesuaikan dengan nada dasarnya. Pada sesi ini pula Mukti-mukti kemudian mengijinkan lagu-lagunya dapat dibawakan pada perform panggung oleh Anak Negeri meski tanpa diiringi secara langsung, namun ‘minus one’-nya akan disiapkan oleh Mukti-mukti.
Mukti-mukti adalah seniman musik panggung yang sangat apik dalam menggarap syair lagu-lagunya dengan berbagai tema yang dapat diadaptasi untuk dibawakan oleh semua usia. Liriknya yang puitis menjadikan lagu-lagunya sesuai dengan spirit yang dibawakan pada perform Teater Anak Negeri yang tidak terjebak dalam arus populis serampangan dengan tetap menjaga unsur estetis, unsur makna dan unsur pencerdasan budaya namun tetap dapat dinikmati publik luas sebagai suatu pertunjukan yang elegant.

Tersalur dalam Daya Cipta – menghadapi dorongan emosi

Tiga emosi pokok – rasa marah, rasa takut serta rasa senang – muncul dan berkembang sebagai sarana pelestarian diri. Meskipun emosi harus dikendalikan dengan sengaja, namun penekanan emosi secara tak sadar bisa berbahaya sehingga dapat meledak begitu saja dalam bentuk lain yang lebih menyakitkan, dan menimbulkan konflik kejiwaan atau kalau tidak, penyakit psikomatik. Membiarkan perasaan terungkap secara terbuka ikut memulihkan keseimbangan, karena menghilangkan ketegangan.

Seniman memiliki metode yang amat mengena untuk menguasai emosi: mengubah emosi menjadi seni. Contoh yang bagus adalah aktor, yang menggunakan emosinya sendiri guna menampilkan emosi tokoh yang diperankannya.

William Wordsworth, penyair Inggris abad ke-19, agaknya mengungkapkan pandangan setiap penulis ketika ia mendefinisikan puisi sebagai “luapan spontan perasaan yang kuat” yang bersumber pada “emosi yang diendapkan dalam ketenangan”. Pelukis Belanda Vincent Van Gogh, selagi menulis tentang kehidupan kreatif pelukis, bertanya: “Bukankah daya yang mendorong kita adalah emosi, ketulusan perasaan seseorang terhadap alam?”

Para Anak Negeri

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More
 
Theme © Copyright 2009-2015 Teater AN | Blogger XML Coded And redesigned by Aubmotion