Pesan Singkat

Jumat, 20 Mei 2011

Body Weather

berlatih konsentrasi

berlatih kepekaan

Sharoon, mengarahkan

bergantian,  mempelajari kelenturan
Kesempatan untuk terlibat di Workshop Body Weather, membuat Boni Avibus sebagai satu-satunya wakil Teater Anak Negeri, juga menjadi peserta termuda.

Suasana yang terbangun dari kegiatan ini sebenarnya sangat sesuai dengan anak-anak karena penuh dengan permainan-permainan untuk membentuk kemampuan merespon secara refleks berbagai aktifitas gerak dan suara.

Setiap peserta workshop dituntut untuk menajamkan konsentrasinya agar dapat merespon aktifitas peserta lainnya. Selain konsentrasi, para peserta juga berlatih mengembangkan imajinasinya untuk mendapatkan gerak-gerak teatrikal yang indah, yang terbangun dari kekompakan dan ketajaman respon. Workshop menarik ini diajarkan oleh Sharoon Joosen, mahasiswi Hogeschool voor de Kunsten Utrecht (Utrecht School of Arts, Belanda) dengan berbahasa Inggris dibantu Ka Tia dari Main Teater sebagai penterjemaahnya.

Kamis, 05 Mei 2011

Komplain dari Seberang Laut tentang Kabaret

Komplain di inbox Daya Cipta Budaya yang datang dari Seattle-USA, dan German tentang ‘alasan Teater Anak Negeri menghindari Kabaret’ cukup mengejutkan. Namun, dapat kami jelaskan bahwa kabaret yang diadaptasi di Indonesia mengalami pergeseran dari negeri asalnya hingga sampai ke Indonesia. Di Indonesia, kabaret ditampilkan dengan bantuan perangkat audio yang mencuplik berbagai lagu atau jinggle iklan (inilah yang kami maksud dengan vandalisme) untuk mengisi suara penari atau pemain sandiwara dalam memparodikan atau menyampaikan satire terhadap suatu ‘kondisi sosial?’. Namun hal prinsip yang tetap mengganggu bagi kami untuk menerima kabaret, adalah [selalu] adanya transgender (waria) didalam pertunjukan kabaret Indonesia yang ikut terserap dari negeri asalnya (Paris). Seandainya yang terserap adalah kehadiran penyanyi dan pemusik asli yang menjadi pelantun vokal bagi para penari atau pemain sandiwara, tentu saja ceritanya akan lain.

Faktor transgender inilah yang memperkuat kesimpulan psikologis kami tentang ‘ketidak-mampuan mengenali dan menjadi diri sendiri’. Meskipun beberapa kesenian tradisional Indonesia juga menerima kehadiran waria didalam pertunjukkannya (sekalipun itu dengan alasan tuntutan peran) namun kami tetap tidak menjadi permisif pada kecenderungan tersebut dan berpegang bahwa waria adalah suatu gangguan psikologis yang tidak sepantasnya menjadi figur pertunjukan/penghibur karena jenis kelamin pria dan wanita tidak dapat diasosiasikan dengan warna hitam dan putih yang memiliki wilayah abu-abu.

Secara umum, dunia pendidikan dasar, menengah dan lanjutan di Indonesia bahkan menganggap kabaret sebagai seni teater, bukan sebagai bagian dari seni teater. Menurut beberapa sumber, perbedaan kabaret dengan teater adalah tempat pertunjukannya. Kabaret adalah suatu nama tempat di restoran/cafe, klab malam (perancis) atau tempat bordil (mediterania) yang kemudian menjadi nama dari pertunjukan ini. tergantung tempatnya, kabaret bersifat kasar liar dan vulgar.

Beberapa pengadopsi kabaret di Indonesia memberikan alasan mengapa akhirnya memilih kabaret adalah karena para pemain sandiwara mereka lemah dalam menghapal naskah, kesulitan mengekspresikannya dalam bentuk ucapan, dan berbagai pelarian lainnya termasuk faktor komersial yang kerap sulit diraih oleh sebagian besar pelaku seni teater di Indonesia.

Di Belanda dan Jerman, sebagian naskah kabaret memang ditulis oleh tokoh-tokoh sastra, dan menjadi alat untuk menyampaikan kritik secara intelektual terhadap kekejaman rezim pemerintahan dan politik. Jika menelusuri sejarah Indonesia, mestinya kabaret Indonesia dikenalkan oleh Belanda (kleinkunst) sehingga di Indonesiapun kabaret lebih banyak ditampilkan di gedung kesenian sebagaimana di Belanda.

Tentu saja Teater Anak Negeri tidak akan menolak apabila diundang untuk mementaskan kabaret di seberang lautan Indonesia, namun yang akan kami tampilkan adalah bentuk kabaret yang akan kami adaptasi dari Jerman atau Belanda lengkap dengan penyanyi, pengiring musik dan gubahan lagu sendiri dengan standar nilai-nilai yang kami tentukan sesuai tujuan Daya Cipta Budaya, bukan gaya kabaret yang cenderung dipentaskan di Indonesia. Semoga ini bisa menjadi jawaban atas komplain tersebut.

Rabu, 04 Mei 2011

Seni Teater, Seni yang Melingkupi Seni Lainnya.

Kursus musik, kursus vokal, kursus tari, kursus akting, kursus menggambar bahkan kursus modeling banyak didirikan para penggiatnya. Kursus-kursus ini mendapat respon positif dari para orang tua karena kursus-kursus ini nampak nyata membekali seorang anak dengan suatu kecakapan.

Meskipun perguruan tinggi seni mempunyai jurusan teater, namun tak seorangpun lulusannya yang berniat mendirikan kursus teater. Hal ini terjadi karena luasnya seni yang tercakup dalam pengajaran seni teater, sehingga sangat tidak mungkin menyelenggarakan kursus teater.

Para penggiat teater cenderung mendirikan sanggar teater yang menjadi wadah dari berbagai seni, dimana sanggar ini berfungsi menjadi tempat persilangan dan bersinerginya kecakapan individu dalam sebuah komunitas seni. Sanggar teater sebenarnya adalah tingkat perluasan (extension) dari kacakapan-kecakapan dasar (basic) dan lanjutan (intermediate), baik itu seni musik, seni tari dan berbagai ranah seni lainnya termasuk juga ranah-ranah sosial, ekonomi, tehnik dan lain-lain. Kecakapan-kecakapan dasar dan menengah ini diselaraskan dalam bentuk berkesenian.

Sanggar teater merupakan sarana pembelajaran seni dan aktifitas berkesenian yang sangat luas cakupannya, yang membutuhkan pemahaman terhadap seni sastra, seni peran, seni tari, seni deklamasi, seni suara, seni berorasi, seni musik, seni rupa, seni menata cahaya, seni berbusana, seni berorganisasi dan lain sebagainya, sehingga tidak bersifat temporer dan praktis.

Kemampuan bermusik, bernyanyi,menari dan lainnya diperkaya dan diperluas untuk dapat bersinergi satu sama lainnya sehingga menjadi sebuah pertunjukan yang lengkap. Seorang pemusik misalnya, harus mampu bersenyawa dengan suasana yang dibangun oleh aktor, atau bahkan menjadi aktor yang mampu mengekspresikan dialog dan mengekspresikan musik sebagai bagian dari script. Seorang pemusik yang memahami sastra akan dapat mengaransement dan menciptakan syair-syair indah. Seorang pemusik yang memahami naskah teater akan lebih memiliki empati atas kondisi sosial sehingga mampu menciptakan lagu-lagu abadi. Seorang pemusik yang mengerti marketing akan mampu mempromosikan dirinya untuk dapat diterima publik dan banyak lagi ekstensi lainnya.

Ditingkat perluasan wawasan, seseorang yang berinteraksi dengan berbagai kecakapan dapat semakin semakin kreatif karena saling terinspirasi.
Sebuah tarian daerah, dapat menjadi sangat imajinatif dan inspiratif ketika dipadu padankan dengan script teater yang sesuai, karena makna yang terkandung didalam tarian menjadi diperkuat dengan adanya sinergi kontent yang multi interprestasi.

Keleluasaan sanggar teater, memang seringkali menjadi bumerang karena proses pembentukan kecakapan tidak kentara secara langsung oleh orang yang tidak terlibat. Namun, bagi yang terlibat dalam proses tersebut, kekuatan untuk kembali dalam lingkaran seni teater seringkali sangat kuat ketika mereka meninggalkan teater untuk pencapaian-pencapaian lain dan mengalami stagnasi kreatifitas akibat rutinitas yang monoton.

Drama Musikal bukan Kabaret !

Sebuah SMS menarik dilayangkan pada Teater Anak Negeri untuk melatih drama musikal di sebuah Sekolah Dasar. Namun ketika pembicaraan berlanjut, kami cukup terkejut dengan apa yang dimaksud sebagai drama musikal oleh pengirim SMS. Beliau menjelaskan proses yang telah berlangsung dalam latihan tersebut, yang kemudian kami sadari bahwa yang dimaksud adalah kabaret.

Sebenarnya ada perbedaan yang sangat jelas antara drama musikal dan kabaret. Pada drama musikal, Aktor atau pemain drama akan berdialog dengan menggunakan suara sendiri yang dinyanyikan, sedangkan pada kabaret, pemain hanya membuka mulut tanpa suara mengikuti dialog atau jingle lagu yang telah disiapkan dalam bentuk rekaman.

Meskipun kabaret adalah bagian dari seni teater, namun Teater Anak Negeri sangat menghindari pementasan-pementasan dengan bentuk kabaret. Berbagai alasan yang mendasari, diantaranya adalah:
  1. Tujuan pelatihan di Teater Anak Negeri adalah membangun kepribadian dan rasa percaya diri, yang diekspresikan dalam kata-kata sebagai alat komunikasi verbal. Kecakapan verbal adalah alat komunikasi utama manusia untuk menyampaikan pendapat, pemikiran dan gagasan secara langsung. Ditingkat yang lebih rendah, komunikasi dapat dilakukan secara tertulis, dengan isyarat (gerak/mimik), penggunaan simbol-simbol dan lain-lain. Komunikasi verbal menjadi efektif karena komunikasi ini dapat sekaligus menyampaikan emosi, ekspresi dan interaksi langsung.
  2. Mementaskan kabaret --selain tidak selaras dengan tujuan di atas karena kabaret hanya membuka mulut tanpa bersuara--, cenderung menjadi ladang ekspoitasi anak-anak (pemain) dalam suatu pertunjukan dimana pembekalan latihan, yang praktis hampir dapat dilakukan setiap orang untuk meniru dan memparodikan sesuatu sesuai konsep sutradara, tidak membutuhkan proses mendalam untuk menggali kepekaan rasa, pengenalan diri maupun pengenalan lingkungan yang berkaitan langsung dengan kontrol emosi dan kecerdasan sebagai dasar membangun kepribadian dan rasa percaya diri.
  3. Naskah kabaret cenderung diarahkan untuk menyajikan hiburan yang memancing tawa semata, dengan cara mengkompilasi potongan lagu-lagu yang sedang populer. Meskipun menghibur, namun pemain dan penonton sebenarnya tidak mendapatkan pengalaman apapun setelah pertunjukan selesai karena essensi dan muatan suatu karya sastra kerapkali menjadi hilang untuk mengadopsi potongan lagu-lagu tersebut.
  4. Kabaret atau lipsing adalah upaya yang secara kejiwaan seringkali merupakan pelarian dari ketidakmampuan mengenali dan menjadi diri sendiri. Apabila ini dikenalkan sejak usia dini, maka pengalaman ini akan mempengaruhi pilihan seseorang untuk selalu tetap berdiri di bawah bayang-bayang karya atau nama besar orang lain.
  5. Vandalisme suatu karya.

Sekali lagi, Pola pelatihan teater Anak Negeri lebih menitik beratkan pada kreatifitas untuk menghasilkan bentuk-bentuk baru dari karya seni dan budaya yang seringkali terhenti akibat tidak sesuai lagi dengan jaman, tingkat kejenuhan penikmat seni dan perubahan budaya global dengan berkembangnya perangkat elektronik. Kreatifitas ini kemudian kami kemas dalam seni teater yang merupakan aktifitas berkesenian dengan cakupan sangat luas, yang membutuhkan pemahaman terhadap berbagai bentuk seni lainnya.

Saat ini ada pergerakan baru dari sebuah cabang seni teater yang disebut teater tubuh. Dari perspektif pelatihan, teater tubuh cukup menarik untuk dijadikan referensi namun dari segi pementasan, teater ini juga kehilangan kemampuan verbalnya sehingga teater Anak Negeri kemudian mengkategorikannya dalam seni tari kontemporer.

Penajaman kemampuan untuk menyampaikan pendapat dihadapan publik, mempresentasikan sesuatu tanpa membuat audiens mengantuk, kemampuan berbahasa dengan indah namun tegas, kelenturan dan keluwesan gerak tubuh dan banyak lagi nilai-nilai positif dari seni teater, yang tidak terdapat dalam bidang-bidang seni lainnya, dapat terbangkitkan dari dalam diri setiap orang apabila mereka mendalami seni teater secara lengkap.

Berbeda dengan seni peran saja atau pelatihan kepribadian yang mengajarkan agar seseorang berperan seperti orang lain, bukan menjadi dirinya sendiri. Seni teater justru mengarahkan individu menjadi dirinya sendiri yang mampu bersinergi dengan orang lain dan lingkungannya karena selain belajar tentang seni peran, mereka juga harus belajar mengenali diri sendiri agar dapat menempatkan diri dalam menghayati suatu peran dan segera kembali menjadi diri mereka sendiri setelah pertunjukan usai.

Didalam seni teater, anak-anak yang terbangun rasa percaya dirinya dan ketajaman kepekaan sosialnya sejak dini, akan berguna bagi diri mereka sendiri maupun masyarakat. Meski mereka pada akhirnya memutuskan untuk tidak mendalami kegiatan berkesenian, dan memilih profesi lain, mereka telah terbekali dasar kreatifitas, kemampuan mengungkapkan gagasan dan pengenalan diri. Mereka juga akan bangga dapat bercerita tentang seni dan budaya yang menjadi identitas suatu bangsa ketika berada di negara lain.

Tersalur dalam Daya Cipta – menghadapi dorongan emosi

Tiga emosi pokok – rasa marah, rasa takut serta rasa senang – muncul dan berkembang sebagai sarana pelestarian diri. Meskipun emosi harus dikendalikan dengan sengaja, namun penekanan emosi secara tak sadar bisa berbahaya sehingga dapat meledak begitu saja dalam bentuk lain yang lebih menyakitkan, dan menimbulkan konflik kejiwaan atau kalau tidak, penyakit psikomatik. Membiarkan perasaan terungkap secara terbuka ikut memulihkan keseimbangan, karena menghilangkan ketegangan.

Seniman memiliki metode yang amat mengena untuk menguasai emosi: mengubah emosi menjadi seni. Contoh yang bagus adalah aktor, yang menggunakan emosinya sendiri guna menampilkan emosi tokoh yang diperankannya.

William Wordsworth, penyair Inggris abad ke-19, agaknya mengungkapkan pandangan setiap penulis ketika ia mendefinisikan puisi sebagai “luapan spontan perasaan yang kuat” yang bersumber pada “emosi yang diendapkan dalam ketenangan”. Pelukis Belanda Vincent Van Gogh, selagi menulis tentang kehidupan kreatif pelukis, bertanya: “Bukankah daya yang mendorong kita adalah emosi, ketulusan perasaan seseorang terhadap alam?”

Para Anak Negeri

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More
 
Theme © Copyright 2009-2015 Teater AN | Blogger XML Coded And redesigned by Aubmotion