Pesan Singkat

Sabtu, 01 Oktober 2011

Catatan Boni Avibus dari Mimbar Teater Indonesia #2


Ini adalah kedua kalinya aku berkumpul dengan Seniman-Seniman teater se-Indonesia setelah HUT FTI 2008 di Taman Ismail Marzuki Jakarta dengan orang-orang yang berbeda. Tidak hanya menyaksikan karya-karya om Putu Wijaya yang ditampilkan oleh seniman-seniman besar teater se-Indonesia yang membuat aku mendapat pelajaran baru, tetapi penampilanku di Teater Arena, Taman Budaya Surakarta (10/10/2010) melalui naskah karya om Putu Wijaya yang berjudul Tok Tok Tok juga dapat disaksikan oleh mereka dan yang pasti om Putu Wijaya yang juga hadir, tampak puas menyaksikan karyanya dapat aku sajikan dengan sebaik mungkin. 

Naskah yang aku bawakan ini ditulis om Putu pada tgl. 11 April 2010 dan aku mendapat kehormatan sebagai orang pertama yang menyajikannya. Isi naskahnya sangat aku sukai karena mengajarkan tentang kehidupan. Kita tidak boleh takut untuk menjalani hidup, kita harus mengenali, mempelajari dan merenungi masa depan sebelum terlambat. Ancaman keganasan, perang, teror, bencana alam dan lain-lainnya jangan membuat kita takut menghadapi hidup karena dunia pasti masih akan menyisakan keramahan dan keindahan. 

Sebelum di Teater Arena, naskah ini aku sajikan di SD Cemara 2 Solo (09/10/2010) dan ditonton oleh anak-anak seusiaku, mereka sangat ramai ketika aku turun dari panggung dan menjadikan mereka terlibat dalam pementasan, bahkan sesekali mereka menyahuti kalimat-kalimat yang aku ucapkan. Aku berharap setelah pementasanku di sekolah mereka ini, mereka dapat terinspirasi dan menyukai teater agar dapat mengembangkan kesenian dan kebudayaan kita menjadi lebih kreatif dan dan mendapat nilai-nilai kebaikan dari isi naskahnya. -Boni Avibus

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Tersalur dalam Daya Cipta – menghadapi dorongan emosi

Tiga emosi pokok – rasa marah, rasa takut serta rasa senang – muncul dan berkembang sebagai sarana pelestarian diri. Meskipun emosi harus dikendalikan dengan sengaja, namun penekanan emosi secara tak sadar bisa berbahaya sehingga dapat meledak begitu saja dalam bentuk lain yang lebih menyakitkan, dan menimbulkan konflik kejiwaan atau kalau tidak, penyakit psikomatik. Membiarkan perasaan terungkap secara terbuka ikut memulihkan keseimbangan, karena menghilangkan ketegangan.

Seniman memiliki metode yang amat mengena untuk menguasai emosi: mengubah emosi menjadi seni. Contoh yang bagus adalah aktor, yang menggunakan emosinya sendiri guna menampilkan emosi tokoh yang diperankannya.

William Wordsworth, penyair Inggris abad ke-19, agaknya mengungkapkan pandangan setiap penulis ketika ia mendefinisikan puisi sebagai “luapan spontan perasaan yang kuat” yang bersumber pada “emosi yang diendapkan dalam ketenangan”. Pelukis Belanda Vincent Van Gogh, selagi menulis tentang kehidupan kreatif pelukis, bertanya: “Bukankah daya yang mendorong kita adalah emosi, ketulusan perasaan seseorang terhadap alam?”

Para Anak Negeri

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More
 
Theme © Copyright 2009-2015 Teater AN | Blogger XML Coded And redesigned by Aubmotion