Pesan Singkat

Rabu, 04 Mei 2011

Drama Musikal bukan Kabaret !

Sebuah SMS menarik dilayangkan pada Teater Anak Negeri untuk melatih drama musikal di sebuah Sekolah Dasar. Namun ketika pembicaraan berlanjut, kami cukup terkejut dengan apa yang dimaksud sebagai drama musikal oleh pengirim SMS. Beliau menjelaskan proses yang telah berlangsung dalam latihan tersebut, yang kemudian kami sadari bahwa yang dimaksud adalah kabaret.

Sebenarnya ada perbedaan yang sangat jelas antara drama musikal dan kabaret. Pada drama musikal, Aktor atau pemain drama akan berdialog dengan menggunakan suara sendiri yang dinyanyikan, sedangkan pada kabaret, pemain hanya membuka mulut tanpa suara mengikuti dialog atau jingle lagu yang telah disiapkan dalam bentuk rekaman.

Meskipun kabaret adalah bagian dari seni teater, namun Teater Anak Negeri sangat menghindari pementasan-pementasan dengan bentuk kabaret. Berbagai alasan yang mendasari, diantaranya adalah:
  1. Tujuan pelatihan di Teater Anak Negeri adalah membangun kepribadian dan rasa percaya diri, yang diekspresikan dalam kata-kata sebagai alat komunikasi verbal. Kecakapan verbal adalah alat komunikasi utama manusia untuk menyampaikan pendapat, pemikiran dan gagasan secara langsung. Ditingkat yang lebih rendah, komunikasi dapat dilakukan secara tertulis, dengan isyarat (gerak/mimik), penggunaan simbol-simbol dan lain-lain. Komunikasi verbal menjadi efektif karena komunikasi ini dapat sekaligus menyampaikan emosi, ekspresi dan interaksi langsung.
  2. Mementaskan kabaret --selain tidak selaras dengan tujuan di atas karena kabaret hanya membuka mulut tanpa bersuara--, cenderung menjadi ladang ekspoitasi anak-anak (pemain) dalam suatu pertunjukan dimana pembekalan latihan, yang praktis hampir dapat dilakukan setiap orang untuk meniru dan memparodikan sesuatu sesuai konsep sutradara, tidak membutuhkan proses mendalam untuk menggali kepekaan rasa, pengenalan diri maupun pengenalan lingkungan yang berkaitan langsung dengan kontrol emosi dan kecerdasan sebagai dasar membangun kepribadian dan rasa percaya diri.
  3. Naskah kabaret cenderung diarahkan untuk menyajikan hiburan yang memancing tawa semata, dengan cara mengkompilasi potongan lagu-lagu yang sedang populer. Meskipun menghibur, namun pemain dan penonton sebenarnya tidak mendapatkan pengalaman apapun setelah pertunjukan selesai karena essensi dan muatan suatu karya sastra kerapkali menjadi hilang untuk mengadopsi potongan lagu-lagu tersebut.
  4. Kabaret atau lipsing adalah upaya yang secara kejiwaan seringkali merupakan pelarian dari ketidakmampuan mengenali dan menjadi diri sendiri. Apabila ini dikenalkan sejak usia dini, maka pengalaman ini akan mempengaruhi pilihan seseorang untuk selalu tetap berdiri di bawah bayang-bayang karya atau nama besar orang lain.
  5. Vandalisme suatu karya.

Sekali lagi, Pola pelatihan teater Anak Negeri lebih menitik beratkan pada kreatifitas untuk menghasilkan bentuk-bentuk baru dari karya seni dan budaya yang seringkali terhenti akibat tidak sesuai lagi dengan jaman, tingkat kejenuhan penikmat seni dan perubahan budaya global dengan berkembangnya perangkat elektronik. Kreatifitas ini kemudian kami kemas dalam seni teater yang merupakan aktifitas berkesenian dengan cakupan sangat luas, yang membutuhkan pemahaman terhadap berbagai bentuk seni lainnya.

Saat ini ada pergerakan baru dari sebuah cabang seni teater yang disebut teater tubuh. Dari perspektif pelatihan, teater tubuh cukup menarik untuk dijadikan referensi namun dari segi pementasan, teater ini juga kehilangan kemampuan verbalnya sehingga teater Anak Negeri kemudian mengkategorikannya dalam seni tari kontemporer.

Penajaman kemampuan untuk menyampaikan pendapat dihadapan publik, mempresentasikan sesuatu tanpa membuat audiens mengantuk, kemampuan berbahasa dengan indah namun tegas, kelenturan dan keluwesan gerak tubuh dan banyak lagi nilai-nilai positif dari seni teater, yang tidak terdapat dalam bidang-bidang seni lainnya, dapat terbangkitkan dari dalam diri setiap orang apabila mereka mendalami seni teater secara lengkap.

Berbeda dengan seni peran saja atau pelatihan kepribadian yang mengajarkan agar seseorang berperan seperti orang lain, bukan menjadi dirinya sendiri. Seni teater justru mengarahkan individu menjadi dirinya sendiri yang mampu bersinergi dengan orang lain dan lingkungannya karena selain belajar tentang seni peran, mereka juga harus belajar mengenali diri sendiri agar dapat menempatkan diri dalam menghayati suatu peran dan segera kembali menjadi diri mereka sendiri setelah pertunjukan usai.

Didalam seni teater, anak-anak yang terbangun rasa percaya dirinya dan ketajaman kepekaan sosialnya sejak dini, akan berguna bagi diri mereka sendiri maupun masyarakat. Meski mereka pada akhirnya memutuskan untuk tidak mendalami kegiatan berkesenian, dan memilih profesi lain, mereka telah terbekali dasar kreatifitas, kemampuan mengungkapkan gagasan dan pengenalan diri. Mereka juga akan bangga dapat bercerita tentang seni dan budaya yang menjadi identitas suatu bangsa ketika berada di negara lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Tersalur dalam Daya Cipta – menghadapi dorongan emosi

Tiga emosi pokok – rasa marah, rasa takut serta rasa senang – muncul dan berkembang sebagai sarana pelestarian diri. Meskipun emosi harus dikendalikan dengan sengaja, namun penekanan emosi secara tak sadar bisa berbahaya sehingga dapat meledak begitu saja dalam bentuk lain yang lebih menyakitkan, dan menimbulkan konflik kejiwaan atau kalau tidak, penyakit psikomatik. Membiarkan perasaan terungkap secara terbuka ikut memulihkan keseimbangan, karena menghilangkan ketegangan.

Seniman memiliki metode yang amat mengena untuk menguasai emosi: mengubah emosi menjadi seni. Contoh yang bagus adalah aktor, yang menggunakan emosinya sendiri guna menampilkan emosi tokoh yang diperankannya.

William Wordsworth, penyair Inggris abad ke-19, agaknya mengungkapkan pandangan setiap penulis ketika ia mendefinisikan puisi sebagai “luapan spontan perasaan yang kuat” yang bersumber pada “emosi yang diendapkan dalam ketenangan”. Pelukis Belanda Vincent Van Gogh, selagi menulis tentang kehidupan kreatif pelukis, bertanya: “Bukankah daya yang mendorong kita adalah emosi, ketulusan perasaan seseorang terhadap alam?”

Para Anak Negeri

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More
 
Theme © Copyright 2009-2015 Teater AN | Blogger XML Coded And redesigned by Aubmotion