Pesan Singkat

Kamis, 05 Mei 2011

Komplain dari Seberang Laut tentang Kabaret

Komplain di inbox Daya Cipta Budaya yang datang dari Seattle-USA, dan German tentang ‘alasan Teater Anak Negeri menghindari Kabaret’ cukup mengejutkan. Namun, dapat kami jelaskan bahwa kabaret yang diadaptasi di Indonesia mengalami pergeseran dari negeri asalnya hingga sampai ke Indonesia. Di Indonesia, kabaret ditampilkan dengan bantuan perangkat audio yang mencuplik berbagai lagu atau jinggle iklan (inilah yang kami maksud dengan vandalisme) untuk mengisi suara penari atau pemain sandiwara dalam memparodikan atau menyampaikan satire terhadap suatu ‘kondisi sosial?’. Namun hal prinsip yang tetap mengganggu bagi kami untuk menerima kabaret, adalah [selalu] adanya transgender (waria) didalam pertunjukan kabaret Indonesia yang ikut terserap dari negeri asalnya (Paris). Seandainya yang terserap adalah kehadiran penyanyi dan pemusik asli yang menjadi pelantun vokal bagi para penari atau pemain sandiwara, tentu saja ceritanya akan lain.

Faktor transgender inilah yang memperkuat kesimpulan psikologis kami tentang ‘ketidak-mampuan mengenali dan menjadi diri sendiri’. Meskipun beberapa kesenian tradisional Indonesia juga menerima kehadiran waria didalam pertunjukkannya (sekalipun itu dengan alasan tuntutan peran) namun kami tetap tidak menjadi permisif pada kecenderungan tersebut dan berpegang bahwa waria adalah suatu gangguan psikologis yang tidak sepantasnya menjadi figur pertunjukan/penghibur karena jenis kelamin pria dan wanita tidak dapat diasosiasikan dengan warna hitam dan putih yang memiliki wilayah abu-abu.

Secara umum, dunia pendidikan dasar, menengah dan lanjutan di Indonesia bahkan menganggap kabaret sebagai seni teater, bukan sebagai bagian dari seni teater. Menurut beberapa sumber, perbedaan kabaret dengan teater adalah tempat pertunjukannya. Kabaret adalah suatu nama tempat di restoran/cafe, klab malam (perancis) atau tempat bordil (mediterania) yang kemudian menjadi nama dari pertunjukan ini. tergantung tempatnya, kabaret bersifat kasar liar dan vulgar.

Beberapa pengadopsi kabaret di Indonesia memberikan alasan mengapa akhirnya memilih kabaret adalah karena para pemain sandiwara mereka lemah dalam menghapal naskah, kesulitan mengekspresikannya dalam bentuk ucapan, dan berbagai pelarian lainnya termasuk faktor komersial yang kerap sulit diraih oleh sebagian besar pelaku seni teater di Indonesia.

Di Belanda dan Jerman, sebagian naskah kabaret memang ditulis oleh tokoh-tokoh sastra, dan menjadi alat untuk menyampaikan kritik secara intelektual terhadap kekejaman rezim pemerintahan dan politik. Jika menelusuri sejarah Indonesia, mestinya kabaret Indonesia dikenalkan oleh Belanda (kleinkunst) sehingga di Indonesiapun kabaret lebih banyak ditampilkan di gedung kesenian sebagaimana di Belanda.

Tentu saja Teater Anak Negeri tidak akan menolak apabila diundang untuk mementaskan kabaret di seberang lautan Indonesia, namun yang akan kami tampilkan adalah bentuk kabaret yang akan kami adaptasi dari Jerman atau Belanda lengkap dengan penyanyi, pengiring musik dan gubahan lagu sendiri dengan standar nilai-nilai yang kami tentukan sesuai tujuan Daya Cipta Budaya, bukan gaya kabaret yang cenderung dipentaskan di Indonesia. Semoga ini bisa menjadi jawaban atas komplain tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Tersalur dalam Daya Cipta – menghadapi dorongan emosi

Tiga emosi pokok – rasa marah, rasa takut serta rasa senang – muncul dan berkembang sebagai sarana pelestarian diri. Meskipun emosi harus dikendalikan dengan sengaja, namun penekanan emosi secara tak sadar bisa berbahaya sehingga dapat meledak begitu saja dalam bentuk lain yang lebih menyakitkan, dan menimbulkan konflik kejiwaan atau kalau tidak, penyakit psikomatik. Membiarkan perasaan terungkap secara terbuka ikut memulihkan keseimbangan, karena menghilangkan ketegangan.

Seniman memiliki metode yang amat mengena untuk menguasai emosi: mengubah emosi menjadi seni. Contoh yang bagus adalah aktor, yang menggunakan emosinya sendiri guna menampilkan emosi tokoh yang diperankannya.

William Wordsworth, penyair Inggris abad ke-19, agaknya mengungkapkan pandangan setiap penulis ketika ia mendefinisikan puisi sebagai “luapan spontan perasaan yang kuat” yang bersumber pada “emosi yang diendapkan dalam ketenangan”. Pelukis Belanda Vincent Van Gogh, selagi menulis tentang kehidupan kreatif pelukis, bertanya: “Bukankah daya yang mendorong kita adalah emosi, ketulusan perasaan seseorang terhadap alam?”

Para Anak Negeri

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More
 
Theme © Copyright 2009-2015 Teater AN | Blogger XML Coded And redesigned by Aubmotion